BRAAAKKKKK!!!!
“Astaghfirullahaladhim...kenapa
kau, Fir??? Tanpa mengucap salam malah membanting pintu. Masya Allah!!!”, ucap seorang
wanita paruh baya itu pada putranya sambil mengetuk pintu kamar putranya.
“Fir,
Firman, kenapa kau, Nak??? Jika ada masalah ceritakan pada ibu!!!”
“DIAM!!!
JANGAN GANGGU AKU!!!”, bentak putranya.
“Astaghfirullah,
nyebut, Le…nyebut!!!”
“DIIIIIIIIIIAAAAAAAAAAAAAAAAAAMMMM!!!!”
Berlinanglah
air mata sang ibu saat putranya membentak semakin keras disertai suara bantingan
barang-barang. Sang ibu berlalu dengan isak tangis dan rasa khawatir akan
putranya.
Firmansyah
Aji Saputro, ya, begitulah nama putra wanita paruh baya itu. Firman tak pernah
memperlakukan ibunya seperti itu semenjak ayahnya berpulang 5 tahun lalu, dia
selalu bersikap sopan dan lembut pada ibunya. Entah apa yang membuat dia
bersikap layaknya badai hingga sang ibu meneteskan air mata.
Wanita
itu menuju kamarnya dengan isak tangis yang masih tersisa sambil mengusap
butiran air matanya. Wanita itu bergumam…
“Ya
Allah, ada apa dengan putraku?”
“Kenapa
dia sampai hati membentakku?”
“Masalah
apa yang sedang dialaminya hingga membuat dia durhaka padaku?”
“Astaghfirullahaladhim…”
Pertanyaan-pertanyaan
itulah yang berputar-putar di fikirannya dan itu membuat air matanya deras
membasahi wajahnya.
Sayup-sayup
terdengar adzan Dhuhur dari Musholla An-Nur yang berjarak 300 M dari rumah
mungil wanita itu. Dia kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan kembali
mengusap air matanya. Dengan mengucap Basmallah, dia mencoba menegarkan diri
dan bergegas mengambil wudhu untuk segera menunaikan kewajiban.
Sedangkan
di dalam kamarnya, Firman masih stress dengan kejadian yang baru dia lihat.
“Perempuan
murahan!!! Kenapa dulu aku bisa tertarik padamu….SIALAN!!!! dasar perempuan tak
tahu diri!!!!”, geramnya sambil menghantam tembok hingga tak terasa darah
mengucur dari tanganya.
“Fir,
Firman…sholat dulu, Nak, udah Dhuhur!!!”, panggil ibunya mengingatkan disertai
ketokan pintu.
Namun
tak ada jawaban dari dalam kamar putranya.
“Fir,
jangan lupa sholat, Nak!!!”, ulangnya.
Karena
tetap tak ada jawaban maka berlalulah sang ibu dan menuju dapur mempersiapkan
makan siang untuk anaknya, Firman.
Tak
lama kemudian Firman keluar dari kamarnya dengan kepala tertunduk dan tak mau
menoleh pada ibunya. Dia segera mengambil wudhu dan sholat Dhuhur. Dalam
sholatnya dia meneteskan air mata hingga usai pun air matanya masih membasahi
pipinya dan dalam doa dia memohon ampun pada Sang Maha Kuasa.
“Ya
Allah, apa yang telah hamba lakukan pada ibu… hamba telah membentak ibu…
astaghfirullah… hanya karena seorang perempuan hamba berani pada ibu… ya Allah,
ampuni hamba ya Allah… sungguh sangat durhaka hambamu ini…
astaghfirullahaladhim…”, begitulah penyesalannya hingga dia kembali bersujud
memohonkan ampun pada-Nya.
Kemudian
dia bangkit dan menghampiri ibunya yang telah menunggunya untuk makan bersama.
Firman langsung meraih tangan ibunya dan bersimpuh di hadapan sang ibu.
“Ibu,
maafkan Firman, Bu!!! Firman udah durhaka pada Ibu… Firman udah berani bentak
Ibu… maafkan Firman, Bu… maafkan Firman!!!”, tangisnya dalam rengkuhan sang
ibu.
“Iya,
Nak… Ibu udah memaafkan. Kenapa kau, Anakku??? Ada masalah apa, Le???”
“Dewi,
Bu… Dewi…!!! Dewi mengkhianati Firman”
“Astaghfirullah…
tahu dari mana kau, Nak???”
“Firman
melihat dengan mata kepala Firman sendiri, Bu… dia berpelukan dengan lelaki
lain!!!”
“Masya
Allah… sudah, Nak… sudah!!! Sabarkan hatimu!! Ibu ‘kan dari dulu sudah tak
merestui kau dengannya tapi kau memaksa, sekarang telah kau ketahui sendiri
mengapa Ibu tak merestui…”
“Iya,
Bu… Firman menyesal telah kenal Dewi dan tertarik padanya… maafkan Firman yang
tak menuruti Ibu…”
“Air
sudah di dalam bendungan, sudahlah, Fir!!! Yang penting sekarang kau telah
sadar akan ketidakbaikan Dewi…”
***
Suatu
sore Firman diperkenalkan dengan seorang gadis oleh ibunya. Parasnya sangat
cantik dan mempesona walaupun tanpa polesan make-up, tubuhnya yang mungil
dibalut dengan dress violet yang sederhana namun elegan dan tak sedikitpun
menampakkan lekuk tubuh mungilnya dengan dipadu kerudung senada. Sungguh sosok wanita
muslimah yang diidam-idamkan untuk dijadikan makmum.
“Fir,
kenalkan ini Aini, Aini Nur Laili… Aini, ini Firman, putra tunggal Bibi…”, kata
ibunya memperkenalkan.

“Bu,
Firman harus segera ke kampus, Firman ditunggu teman-teman latihan Al-Banjari”,
ijin Firman pada ibunya.
“Lho,
Le… tapi ini kan sedang ada tamu. Mbok yo ditemani sebentar toh…!!”
“Maaf,
Bu… Firman buru-buru. Mungkin lain kali…”
“Ya
udah, hati-hati…!!!!”
“Iya,
Bu… Assalamualaikum!!”
“Waalaikumsalam…
Aini, maafkan putra Bibi ya… dia ketua kelompok Al-Banjari di kampus jadi ya
gitu, sibuk…”, sesal ibu Firman pada Aini.
“Iya,
Bi… tidak apa-apa. Saya mengerti kok, Bi…”, jawab Aini dengan suara yang halus
dan lembut menenangkan.
Sedangkan
Firman meluncur ke kampusnya dengan motor peninggalan ayahnya. Fikirannya hanya
tertuju pada teman-temannya namun sekilas terlintas dalam fikirannya gadis yang
baru dikenalnya itu namun segera ditepiskannya fikiran tentang gadis itu.
***
“Firman,
bagaimana menurutmu gadis tadi?”, ucap ibunya memulai percakapan saat makan
malam.
“Gadis
yang mana toh, Bu??”, Tanya Firman tak mengerti.
“Aini,
Fir…”
“Oooh…
biasa saja, Bu…!”
“Biasa
bagaimana??? Dia cantik ‘kan??? Dia itu putri bungsu Ustadzah Cholifah itu lho…
dia baru saja menyelesaikan SMA-nya di Pondok Gontor, rencananya dia mau kuliah
di kampusmu, Le…”
“Pondok
Gontor??? Kok jauh banget toh, Bu??? Terus, bagaimana ceritanya Ibu bisa bawa
dia kesini dan memperkenalkannya pada Firman??? Maksud Ibu apa toh, Bu???”
“Iya,
dia disana karena ada kakek-neneknya. Yaaa… gini, Le… Ustadzah Cholifah itu pengen
kamu yang jadi imam Aini, makanya Ibu ajak Aini kesini dan memperkenalkannya
padamu…”
“Lho,
Bu… ‘kan ya seharusnya kita toh yang ke rumahnya, kok malah dia yang kesini…
Ibu… Ibu…”
“Ibu
udah gak sabar memperkenalkannya padamu, ‘kan kamu sibuk terus, Le… nah,
sekarang Ibu Tanya kamu mau ‘kan???”
“Waduh,
Bu… Firman masih belum siap, lagian Firman masih trauma dengan kejadian Dewi
tempo dulu, Bu… dan lagi, Aini ‘kan masih belum cukup umur untuk berumahtangga,
Bu… terpaut 3 tahun dengan Firman…”
“Tapi
Dewi dengan Aini itu beda, Le…”
“Beda
apanya toh, Bu??? Sama-sama dari pondok tapi kelakuannya tidak mencerminkan
wanita sholehah… Firman tak mau tertipu dengan ketertutupan pakaiannya dan
kepolosan wajahnya, Bu…!!!”
“Le,
Ibumu ini tak akan menjerumuskan anak sendiri… percayalah… Aini itu baik
untukmu, Nak.!!!”
“Maaf,
Bu… Firman tidak ingin.”, jawab Firman sambil berlalu meninggalkan ibunya.
“Le,
jangan sampai kamu menyesal, Nak!!! Aini wanita sholehah!!!”
***
2
bulan kemudian…
Aini
telah memulai kuliahnya dengan jurusan Pendidikan Agama Islam, ya, satu jurusan
dengan Firman. Namun semenjak Aini masuk, Firman tak pernah menghiraukannya
meskipun Aini melemparkan senyum. Firman tak ingin tertipu oleh seorang perempuan
untuk yang kedua kalinya. Namun Firman ingin membuktikan kata-kata ibunya yang
mengatakan bahwa Aini baik untuknya. Firman meminta salah seorang temannya dari
lain jurusan untuk menggoda Aini. Adam, ya temannya bernama Adam, dia sangat
tampan, baik dan sangat berkecukupan dan dia merupakan lelaki tertampan di
kampusnya hingga banyak wanita yang ingin menjadi miliknya jadi mustahil untuk
seorang wanita menolaknya. Adam mencoba untuk mendekati Aini tapi Aini terus
menghindar. Sampai akhirnya saat pulang Aini dihadang dan Adam menyatakan
perasaannya. Aini hanya tertunduk dan mencoba menghindar. Tetapi Adam nekat
memegang tangan Aini, dengan cepat Aini pun melayangkan sebuah tamparan keras
di wajah Adam.
“Saya
sudah cukup sabar menghadapi sikap Anda yang terus mengganggu saya, tapi kali
ini Anda sudah sangat keterlaluan!!!”, bentak Aini.
Firman
yang diam-diam menyaksikan kejadian tersebut sontak tercengang melihat Aini
menampar dan membentak Adam yang bisa dibilang telah kurang ajar pada Aini.
Keesokan
harinya Aini disuruh ibunya mengantarkan sebuah cake untuk ibu Firman. Aini menurutkan perintah ibunya seperti
biasanya. Ya, Aini telah sering mendapat perintah semacam itu sehingga Aini pun
sering berkunjung ke rumah Firman dan semakin akrab dengan ibu Firman. Saat di
perjalanan dia berharap akan bertemu dengan Firman karena sejak
diperkenalkannya dahulu dia telah tertarik pada Firman namun dia hanya bisa
menunggu. Sesampainya di sana, ternyata ibu Firman tidak ada, hanya Firman
seorang diri di rumah. Mau tak mau Firman menemani Aini dan sedikit berbincang.
“Kenapa
kok diam saja???”, Tanya Firman memulai namun Aini hanya membalas dengan
senyuman.
“Kenapa
kamu jauh-jauh mondok di Gontor??? ‘Kan di sini juga ada banyak pondok…”

“Oooh,
terus kenapa kok pilih kuliah di universitas swasta?? Dengar-dengar prestasimu
cukup bagus, kenapa tidak ke ITB saja???”
“Karena
kata Ibu dekat dari rumah, jadi saya menurut saja karena saya yakin dnegan
restu Ibu saya akan lancar menempuh pendidikan…”
Hening
sejenak karena Firman tak tahu mau bertanya apa lagi, sedangkan Aini sedikitpun
tak membuka pertanyaan.
“Oiya,
hotnews kampus katanya kamu menolak
Adam sang pangeran kampus, ya???”, kata Firman akhirnya.
“Iya,
Mas.”, jawabnya singkat.
“Kenapa???”
“Dia
udah kurang ajar.”
“Oooh,
jadi kalau seandainya dia gak kurang ajar, kamu mau, gitu???”
“Ya
tetap tidak, Mas. Haram hukumnya. Lagian saya ingin Ibu saya yang memilihkan.
Bukan malah aal-asalan.”
“Oooh,
begitu. Heemmm… dan ibumu memilihku, benar???”
“Iya,
Mas.”, jawab Aini tertunduk malu.
“Kamu
mau???”
“Eeeemmmh…
maaf, Mas… saya harus pulang. Salam pada Bibi, ya…”, potong Aini menghindar.
“Lho,
kok…”
“Assalamualaikum…”
“Iya,
waalaikumsalam…”
***
Firman
terus memikirkan gadis 19 tahun itu. Dan setiap dia menepisnya, semakin gadis
itu melayang-layang dalam fikirannya bahkan Aini masuk dalam setiap mimpi-mimpi
indahnya. Firman bingung akan apa yang dialaminya. Hari berganti hari, bulan
berganti bulan, hingga tahun pun berganti, Aini tetap menghantui fikirannya dan
setiap dia memikirkan gadis itu, jantungnya berdegup kencang.
“Apakah
aku telah jatuh dalam lautan keindahannya??? Ya Allah, jika memang dia yang
terbaik untukku maka dekatkanlah namun jika tidak, hapuskanlah dia dari hati
dan fikiranku…”, gumamnya dalam lamunan.
***
“Fir,
kenapa ya kok Aini jarang kesini??? Udah
hampir setahun lebih dia tak pernah kesini padahal dulu paling sedikit sebulan
sekali dia kesini… kenapa ya, Fir???”, tanya ibunya heran.
“Mungkin
Aini sedang sibuk, Bu…”, jawab Firman menenangkan.
“Sibuk
apa kok sampai setahun gini…???”
“Ya
mana Firman tahu toh, Bu…”
“Tolong
cari tahu lah, Fir… Ibu kangen sama Aini… memangnya kamu tidak kangen???”
“Ibu
ini ada-ada saja…”
“Ada-ada
saja bagaimana… memangnya kamu tak ada perasaan toh sama Aini???”
“Ibu
kok bertanya seperti itu, Bu???”
“Ya
karena Ibu lihat akhir-akhir ini kamu tidak tenang semenjak Aini jarang
kesini…”
“Sudahlah,
Bu... Firman tak ingin membicarakan hal ini…”
Firman
mencoba berlalu namun ibunya menahan dirinya dan terus saja mendesak untuk
menjawab pertanyaan yang dilontarkannya tersebut. Namun Firman tetap tak mau
menjawab karena dia malu akan mengakui kebenaran hatinya. Malu karena dia pernah
suuzan pada Aini tapi sesungguhnya
hatinya tak sanggup lagi untuk menyimpan rasa tersebut.
Dan
akhirnya di suatu malam Firman tak sengaja bertemu dengan Aini. Seperti biasa
Aini menundukkan kepala tapi Firman memberanikan diri untuk memanggil namanya.
“Assalamualaikum,
Aini…!!!”
“Waalaikumsalam…
oooh Mas Firman…”
“Lama
gak ketemu ya, Aini??”
“Iya,
Mas…”
“Dari
mana malam-malam gini???”
“Dari
apotek beli obat untuk ibu, Mas…”
“Lho,
memangnya ibu kamu sakit apa???”
“Ibu
tiba-tiba terserang stroke, Mas…”, jawab Aini dengan mata berkaca-kaca.
“Innalillahi…
sejak kapan???”
“Sejak
setahun lalu, Mas… tak tahu apa sebabnya… sudah dibawa berobat kemana-mana tapi
tetap tidak bisa sembuh, Mas…”
“Boleh
aku menjenguk ibumu sekarang???”
“Jangan
sekarang ya, Mas… besok saja, karena sekarang waktunya ibu istirahat, Mas…”
“Baiklah
kalau begitu, Insya Allah besok aku akan menjenguk beliau…”
“Iya,
Mas. Yasudah saya mau pulang ya, Mas. Ibu nungguin…”, pinta Aini.
“Iya,
hati-hati di jalan!!!”
“Iya,
Mas. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam!”
Sesampainya
di rumah, Firman langsung memberitahu ibunya kalau Ibu Aini sakit stroke.
Ibunya kaget dan ingin cepat-cepat menjenguk ibu Aini tersebut. Tapi Firman
menegaskan kalau sebaiknya besok untuk menjenguk karena sekarang sudah terlalu
malam untuk berkunjung ke rumah orang. Akhirnya ibunya menurut dan menunggu
esok hari.
Keesokan
harinya Firman dan ibunya segera menuju rumah Aini untuk melihat keadaan ibu
Aini. Ini kali pertama Firman berkunjung ke rumah Aini. Saat sampai di rumah
Aini, Firman tercengang melihat keadaan rumah Aini yang megah namun hanya
berpenghuni 3 orang yaitu Aini, ibunya dan pembantunya. Firman tak pernah
berfikiran kalau Aini adalah putri orang kaya karena Aini selalu bersikap
sederhana.

“Bu
Khusnul, terima kasih telah bersedia mampir kesini???”, ucap Ustadzah Cholifah
dengan terbata-bata.
“Iya,
Ustadzah. Maaf saya baru kesini, saya tidak mendengar kabar kalau Ustadzah
terserang stroke, baru kemarin saya mengetahui kabar itu…”, jawab ibu Firman.
“Tidak
apa-apa, Bu. Saya sudah sangat senang Ibu bersedia kesini. Oiya, lelaki ini
siapa, Bu??”
“Ini
Firman, Ustadzah…”
“Firman???
Subhanallah, tampan sekali kamu, Nak… dulu terakhir aku melihatmu, kamu masih
kecil… oiya Bu Khusnul, bagaimana dengan
permintaan saya tempo dulu???”
“Kalau
hal itu saya terserah Firmannya saja, Ustadzah…”
“Baiklah.
Firman, bagaimana, Nak??? Apa kamu mau menerima Aini???”, tanya Ustadzah
Cholifah pada Firman.
“Eemmmmhh…”,
gumam Firman berfikir.
“Kenapa,
Nak??? Apa kamu tidak menyukai Aini???”
“Bukan
seperti itu, Ustadzah… Buuu….”, adu Firman pada ibunya karena bingung mau
berkata apa.
“Katakan
saja, Le… tidak apa-apa!”, kata ibunya.
“Begini,
Bu, Ustadzah… memang awalnya saya tidak ingin karena saya takut dikecewakan
seorang perempuan lagi namun setelah waktu lama berselang ternyata ketakutan
saya itu hanya suuzan semata. Dan….”
“Dan
apa, Le???”, sela ibunya tak sabar.
“Dan
ternyata Aini tidak seperti yang Firman kira, Bu… benar kata Ibu kalau Aini
baik untuk Firman dan hati Firman juga tak bisa mengelak kalau Firman telah
jatuh dalam keindahan Aini…”
“Alhamdulillah,
jadi kamu mau menerima Aini, Nak???”, tanya ibu Aini menegaskan.
“Insya
Allah iya, Ustadzah…”
Ternyata
Aini mendengar percakapan ibunya dan kedua tamunya itu dari balik pintu kamar
ibunya. Hati Aini terasa lega saat Firman mengatakan mau menerimanya. Sungguh
terasa indah dunia saat itu bagi Aini.
“Kalau
begitu lekaslah kalian menikah… lebih cepat lebih baik karena saya ingin
melihat putri bungsu saya menikah sebelum saya menutup waktu…”, kata ibu Aini.
“Jangan
berkata seperti itu, Ustadzah… tidak baik berkata seperti itu, saya yakin pasti
Ustadzah akan segera sembuh…”, jawab ibu Firman.
“Terima
kasih, Bu… saya juga ingin sekali lekas sembuh… oiya, bagaimana kalau
pernikahan Firman dan Aini dilangsungkan bulan depan???”
“Bulan
depan??? Apa tidak terlalu cepat, Ustadzah??? Lagipula Aini juga belum
mengetahui akan hal ini…”, tanya Firman kaget.
“Lebih
cepat lebih baik, Nak Firman. Soal Aini nanti Bibi yang akan bilang, Nak…”
“Bilang
apa toh, Bu…???”, tanya Aini yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar ibunya.
“Begini,
Nduk… Ibu berencana menikahkan kamu dengan Nak Firman bulan depan… kamu mau
‘kan, Nduk???”, kata ibunya.
“Kalau
saya terserah Ibu dan Mas Firman serta Bibi saja…”
“Tuh,
Nak Firman… sudah dengar sendiri ‘kan… sekarang keputusan ada di tangan kamu,
Nak…”
“Kalau
semuanya sudah setuju maka saya mau bagaimana lagi, Ustadzah…”, jawab Firman.
“Alhamdulillah…!!!”,
jawab Ustadzah Cholifah dan ibu Firman bersamaan.
Aini
hanya tersenyum, tersenyum bahagia yang nampak di bibir tipisnya.
***
Mereka
pun kemudian sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk acara
pernikahan Firman dengan Aini. Mulai dari pakaian pengantin, undangan,
dekorasi, dan lain sebagainya. Sehingga Firman dan Aini menjadi sering bersama
dan bertambah akrab. Dan terlihat di kedua wajah insane itu terpancar
kebahagiaan yang tak terhingga. Serta kesehatan ibu Aini pun berangsur pulih
sehingga mulai sedikit bisa beraktivitas kembali.
“Mas,
Mas mau konsep yang bagaimana untuk pernikahan kita nanti???” tanya Aini pada
calon suaminya saat mendiskusikan dekorasi pernikahan.
“Yang
sederhana saja, Dek, tapi tetap terlihat elegannya. Tapi terserah kamu sajalah,
aku serahkan padamu…”, jawab Firman.
“Baiklah
kalau begitu, Mas… Aini pilih yang seperti kata Mas aja ya…”
“Iya,
Dek…”
Hari
semakin mendekati hari H dan semua persipan pun sedikit demi sedikit telah
terselesaikan sesuai keinginan. Kurang seminggu acara pernikahan mereka, Aini
beserta ibunya dan calon mertuanya bersama-sama menyebarkan undangan pada
saudara-saudara. Sedangkan Firman sendiri sibuk menyebarkan undangan pada
teman-temannya juga teman-teman Aini.
Mereka
berangkat pagi dan biasanya sore telah kembali pulang. Firman pun jam 4 sore
sudah berada di rumah tetapi ketiga orang yang akan menjadi satu keluarganya
itu masih belum pulang juga. Firman menunggu mereka dengan sedikit cemas karena
perasaannya tidak begitu enak. Di saat dia menunggu keluarganya, tiba-tiba
figura foto dirinya dan ibunya jatuh hingga pecah berkeping-keping. Perasaan
Firman pun semakin tak enak. Tak lama kemudian ponselnya bordering.
“Assalamualaikum,
benar ini Saudara Firman???”, tanya suara di ponsel itu.

“Ini
dari pihak kepolisian, apakah anda keluarga dari Nona Aini, Ibu Cholifah dan
Ibu Khusnul???”
“Iya
benar. Ada apa ya???”
“Setengah
jam yang lalu terjadi kecelakaan mobil dan di dalam mobil tersebut berisi
keluarga anda. Sekarang lebih baik anda segera ke rumah sakit Cempaka untuk
melihat keadaan mereka…”
Firman
pun langsung bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud dengan linangan air mata
yang tak terasa terus membasahi pipinya. Di jalan dia terjebak macet yang
sangat hebat akhirnya dia meninggalkan motornya di jalan tersebut dan tak
menghiraukannya kemudian berlari menuju rumah sakit Cempaka yang tak jauh lagi
jaraknya. Sesampainya di sana ternyata ada bibinya yang telah menunggunya.
Bibinya langsung memeluk dirinya dengan isak tangis yang hebat.
“Dimana
ibu????!!!! Dimana Ustadzah Cholifah dan Aini?????!!!!”, tanya Firman dalam pelukan
bibinya.
“Sabar
ya, Le… sabar!!!!”, jawab bibinya dengan terisak.
“DIMANA
MEREKA!!!!!”
“Di
dalam ruangan itu, Nak…”, jawab bibinya sambil melepas dekapannya.
Firman
pun segera memasuki ruangan yang dimaksudkan bibinya dan menemui tiga buah
ranjang yang di atasnya terdapat Aini, ibunya dan calon mertuanya. Namun,
ketiga ranjang tersebut telah tertutup oleh kain putih seluruhnya.
“TIDAAAAAAAKKKKKKKKKKKK!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”,
teriak Firman.
“Ibu,
Ustadzah, akhwatku, jangan tinggalkan diriku sendirian di dunia ini…!!!”,
tangis Firman.
“Ainiku,
calon istriku, kekasih hatiku, bangun… pernikahan kita tinggal selangkah lagi…
jangan pergi, Dek… jangan tinggalkan Mas…”, ucap Firman sambil memeluk jenazah
Aini.
“Firman,
sudah, Nak… ikhlaskan mereka… ikhlaskan, Le… tabahkan dirimu…!”, kata bibinya
mencoba menenangkan dan mencoba menarik tubuh keponakannya.
“Kenapa
semua ini terjadi padaku!!!???? Ini sungguh tak adil… semuanya direnggut
dariku… kebahagiaanku, semuanya telah lenyap…!!!! aaAAArRRgGGhHHH!!!!!!!!!”
Sungguh
kenyataan yang sangat pahit untuk diterima Firman. Tapi itulah takdir. Itulah
yang telah digariskan Sang Kuasa. Pemakaman ketiga orang yang dikasihinya pun
segera dilakukan kesesokan harinya dan Firman pun semakin tak kuat menahan
kesedihan dan air matanya. Makam mereka dibuat berjejer. Saat pemakan
berlangsung tak sengaja Firman berkata pada bibinya, kalau nanti dia meninggal
dia ingin dimakamkan di dekat makam Aini.
Seusai
prosesi pemakaman, Firman langsung pulang dengan air mata yang masih saja menetes
tiada henti. Dia berkata dalam hatinya mengapa di saat dia akan meraih
kebahagiaan yang diinginkannya dia harus menelan kenyataan pahit
sepahit-pahitnya. Ibunya, calon mertua dan calon istrinya meninggal dunia,
sungguh tak pernah terbayangkan sedikitpun mereka pergi secepat itu secara
bersamaan.
“Ya
Allah, aku sangat mencintai calon istriku, aku bersyukur Engkau temukan diriku
dengannya meskipun hanya sekejap waktu. Surga dunia yang aku idam-idamkan kini
telah sirna sudah. Tak ada lagi kekasih hati, seorang ibu dan mertua… ya Allah,
tak sanggup rasanya aku harus menanggung beban ini. Tak kuat rasanya aku ‘tuk
hidup sendirian di dunia fana ini…. Astaghfirullahaladhim…”, tangis Firman di
setiap doanya.
Sebulan
sudah Ibunya, Aini dan ibu Aini berpulang, dan Firman masih tetap menangis dan
menangis dan dia tak ingin keluar rumah barang sedikitpun. Dia selalu berdoa
pada-Nya dan setiap usai berdoa dia selalu bersujud kembali.
“Ya
Allah, aku ingin berkumpul dengan mereka… tak sanggup sudah diriku ini ‘tuk
melanjutkan hidup… tak ada semangat dan harapan lagi buatku… ya Allah,
jemputlah diriku… aku tak sanggup lagi…”, tangis Firman dalam sujudnya.
Namun
saat dia bersujud saat itu sangat lama sekali, tak bangun-bangun kembali.
Terdengar ketukan pintu dari luar.
“Fir,
ini Bibi, Nak… buka pintunya….!!!”, ucap Bibinya dari balik pintu.
Karena
tak ada jawaban akhirnya bibinya mencoba masuk dan ternyata pintu rumah tak
dikunci. Bibinya langsung mencari Firman dan menemukannya di dalam kamarnya
dalam keadaan bersujud.
“Fir,
Firman…”, ucap bibinya membangunkan Firman.
Tapi
Firman tak bangun-bangun juga, akhirnya bibinya mencoba menyentuh tubuh Firman,
terasa kaku dan dingin dan saat itu jugalah tubuh Firman jatuh terbaring.
Bibinya sontak terkejut karena Firman telah tak bernyawa.
“Innalillahiwainnailaihiroji’un…
ya Allah, Le… kok kamu sampai seperti ini, Nak…”, tangis bibinya sambil menutup
seluruh tubuh keponakannya itu dengan kain.
Saat
bibinya bangkit, terlihat secarik kertas bertuliskan sesuatu yang kurang jelas
karena buram terkena air, mungkin air mata Firman.
“Aini,
engkaulah bidadariku di dunia dan akhirat, aku tak sanggup hidup tanpa dirimu,
Ainiku. Mengapa engkau tinggalkan Mas sendirian di dunia ini. Ana
behibek,Aini!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar