Selasa, 10 Juli 2012

CERPEN - TAKDIRKU


TAKDIRKU

BRAAAKKKKK!!!!
“Astaghfirullahaladhim...kenapa kau, Fir??? Tanpa mengucap salam malah membanting pintu. Masya Allah!!!”, ucap seorang wanita paruh baya itu pada putranya sambil mengetuk pintu kamar putranya.
“Fir, Firman, kenapa kau, Nak??? Jika ada masalah ceritakan pada ibu!!!”
“DIAM!!! JANGAN GANGGU AKU!!!”, bentak putranya.
“Astaghfirullah, nyebut, Le…nyebut!!!”
“DIIIIIIIIIIAAAAAAAAAAAAAAAAAAMMMM!!!!”
Berlinanglah air mata sang ibu saat putranya membentak semakin keras disertai suara bantingan barang-barang. Sang ibu berlalu dengan isak tangis dan rasa khawatir akan putranya.
Firmansyah Aji Saputro, ya, begitulah nama putra wanita paruh baya itu. Firman tak pernah memperlakukan ibunya seperti itu semenjak ayahnya berpulang 5 tahun lalu, dia selalu bersikap sopan dan lembut pada ibunya. Entah apa yang membuat dia bersikap layaknya badai hingga sang ibu meneteskan air mata.
Wanita itu menuju kamarnya dengan isak tangis yang masih tersisa sambil mengusap butiran air matanya. Wanita itu bergumam…
“Ya Allah, ada apa dengan putraku?”
“Kenapa dia sampai hati membentakku?”
“Masalah apa yang sedang dialaminya hingga membuat dia durhaka padaku?”
“Astaghfirullahaladhim…”
Pertanyaan-pertanyaan itulah yang berputar-putar di fikirannya dan itu membuat air matanya deras membasahi wajahnya.
Sayup-sayup terdengar adzan Dhuhur dari Musholla An-Nur yang berjarak 300 M dari rumah mungil wanita itu. Dia kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan kembali mengusap air matanya. Dengan mengucap Basmallah, dia mencoba menegarkan diri dan bergegas mengambil wudhu untuk segera menunaikan kewajiban.
Sedangkan di dalam kamarnya, Firman masih stress dengan kejadian yang baru dia lihat.
“Perempuan murahan!!! Kenapa dulu aku bisa tertarik padamu….SIALAN!!!! dasar perempuan tak tahu diri!!!!”, geramnya sambil menghantam tembok hingga tak terasa darah mengucur dari tanganya.
“Fir, Firman…sholat dulu, Nak, udah Dhuhur!!!”, panggil ibunya mengingatkan disertai ketokan pintu.
Namun tak ada jawaban dari dalam kamar putranya.
“Fir, jangan lupa sholat, Nak!!!”, ulangnya.
Karena tetap tak ada jawaban maka berlalulah sang ibu dan menuju dapur mempersiapkan makan siang untuk anaknya, Firman.
Tak lama kemudian Firman keluar dari kamarnya dengan kepala tertunduk dan tak mau menoleh pada ibunya. Dia segera mengambil wudhu dan sholat Dhuhur. Dalam sholatnya dia meneteskan air mata hingga usai pun air matanya masih membasahi pipinya dan dalam doa dia memohon ampun pada Sang Maha Kuasa.
“Ya Allah, apa yang telah hamba lakukan pada ibu… hamba telah membentak ibu… astaghfirullah… hanya karena seorang perempuan hamba berani pada ibu… ya Allah, ampuni hamba ya Allah… sungguh sangat durhaka hambamu ini… astaghfirullahaladhim…”, begitulah penyesalannya hingga dia kembali bersujud memohonkan ampun pada-Nya.
Kemudian dia bangkit dan menghampiri ibunya yang telah menunggunya untuk makan bersama. Firman langsung meraih tangan ibunya dan bersimpuh di hadapan sang ibu.
“Ibu, maafkan Firman, Bu!!! Firman udah durhaka pada Ibu… Firman udah berani bentak Ibu… maafkan Firman, Bu… maafkan Firman!!!”, tangisnya dalam rengkuhan sang ibu.
“Iya, Nak… Ibu udah memaafkan. Kenapa kau, Anakku??? Ada masalah apa, Le???”
“Dewi, Bu… Dewi…!!! Dewi mengkhianati Firman”
“Astaghfirullah… tahu dari mana kau, Nak???”
“Firman melihat dengan mata kepala Firman sendiri, Bu… dia berpelukan dengan lelaki lain!!!”
“Masya Allah… sudah, Nak… sudah!!! Sabarkan hatimu!! Ibu ‘kan dari dulu sudah tak merestui kau dengannya tapi kau memaksa, sekarang telah kau ketahui sendiri mengapa Ibu tak merestui…”
“Iya, Bu… Firman menyesal telah kenal Dewi dan tertarik padanya… maafkan Firman yang tak menuruti Ibu…”
“Air sudah di dalam bendungan, sudahlah, Fir!!! Yang penting sekarang kau telah sadar akan ketidakbaikan Dewi…”
***
Suatu sore Firman diperkenalkan dengan seorang gadis oleh ibunya. Parasnya sangat cantik dan mempesona walaupun tanpa polesan make-up, tubuhnya yang mungil dibalut dengan dress violet yang sederhana namun elegan dan tak sedikitpun menampakkan lekuk tubuh mungilnya dengan dipadu kerudung senada. Sungguh sosok wanita muslimah yang diidam-idamkan untuk dijadikan makmum.
“Fir, kenalkan ini Aini, Aini Nur Laili… Aini, ini Firman, putra tunggal Bibi…”, kata ibunya memperkenalkan.
ilustrasi-ikhwan-akhwat-2.jpgFirman menyodorkan tangannya untuk bersalaman namun Aini tidak menyambut tangan Firman, hanya mengatupkan kedua tangannya sambil mengucapkan salam. Firman pun dengan segera menarik tangannya kembali dan menjawab salam Aini.
“Bu, Firman harus segera ke kampus, Firman ditunggu teman-teman latihan Al-Banjari”, ijin Firman pada ibunya.
“Lho, Le… tapi ini kan sedang ada tamu. Mbok yo ditemani sebentar toh…!!”
“Maaf, Bu… Firman buru-buru. Mungkin lain kali…”
“Ya udah, hati-hati…!!!!”
“Iya, Bu… Assalamualaikum!!”
“Waalaikumsalam… Aini, maafkan putra Bibi ya… dia ketua kelompok Al-Banjari di kampus jadi ya gitu, sibuk…”, sesal ibu Firman pada Aini.
“Iya, Bi… tidak apa-apa. Saya mengerti kok, Bi…”, jawab Aini dengan suara yang halus dan lembut menenangkan.
Sedangkan Firman meluncur ke kampusnya dengan motor peninggalan ayahnya. Fikirannya hanya tertuju pada teman-temannya namun sekilas terlintas dalam fikirannya gadis yang baru dikenalnya itu namun segera ditepiskannya fikiran tentang gadis itu.
***
“Firman, bagaimana menurutmu gadis tadi?”, ucap ibunya memulai percakapan saat makan malam.
“Gadis yang mana toh, Bu??”, Tanya Firman tak mengerti.
“Aini, Fir…”
“Oooh… biasa saja, Bu…!”
“Biasa bagaimana??? Dia cantik ‘kan??? Dia itu putri bungsu Ustadzah Cholifah itu lho… dia baru saja menyelesaikan SMA-nya di Pondok Gontor, rencananya dia mau kuliah di kampusmu, Le…”
“Pondok Gontor??? Kok jauh banget toh, Bu??? Terus, bagaimana ceritanya Ibu bisa bawa dia kesini dan memperkenalkannya pada Firman??? Maksud Ibu apa toh, Bu???”
“Iya, dia disana karena ada kakek-neneknya. Yaaa… gini, Le… Ustadzah Cholifah itu pengen kamu yang jadi imam Aini, makanya Ibu ajak Aini kesini dan memperkenalkannya padamu…”
“Lho, Bu… ‘kan ya seharusnya kita toh yang ke rumahnya, kok malah dia yang kesini… Ibu… Ibu…”
“Ibu udah gak sabar memperkenalkannya padamu, ‘kan kamu sibuk terus, Le… nah, sekarang Ibu Tanya kamu mau ‘kan???”
“Waduh, Bu… Firman masih belum siap, lagian Firman masih trauma dengan kejadian Dewi tempo dulu, Bu… dan lagi, Aini ‘kan masih belum cukup umur untuk berumahtangga, Bu… terpaut 3 tahun dengan Firman…”
“Tapi Dewi dengan Aini itu beda, Le…”
“Beda apanya toh, Bu??? Sama-sama dari pondok tapi kelakuannya tidak mencerminkan wanita sholehah… Firman tak mau tertipu dengan ketertutupan pakaiannya dan kepolosan wajahnya, Bu…!!!”
“Le, Ibumu ini tak akan menjerumuskan anak sendiri… percayalah… Aini itu baik untukmu, Nak.!!!”
“Maaf, Bu… Firman tidak ingin.”, jawab Firman sambil berlalu meninggalkan ibunya.
“Le, jangan sampai kamu menyesal, Nak!!! Aini wanita sholehah!!!”
***
2 bulan kemudian…
Aini telah memulai kuliahnya dengan jurusan Pendidikan Agama Islam, ya, satu jurusan dengan Firman. Namun semenjak Aini masuk, Firman tak pernah menghiraukannya meskipun Aini melemparkan senyum. Firman tak ingin tertipu oleh seorang perempuan untuk yang kedua kalinya. Namun Firman ingin membuktikan kata-kata ibunya yang mengatakan bahwa Aini baik untuknya. Firman meminta salah seorang temannya dari lain jurusan untuk menggoda Aini. Adam, ya temannya bernama Adam, dia sangat tampan, baik dan sangat berkecukupan dan dia merupakan lelaki tertampan di kampusnya hingga banyak wanita yang ingin menjadi miliknya jadi mustahil untuk seorang wanita menolaknya. Adam mencoba untuk mendekati Aini tapi Aini terus menghindar. Sampai akhirnya saat pulang Aini dihadang dan Adam menyatakan perasaannya. Aini hanya tertunduk dan mencoba menghindar. Tetapi Adam nekat memegang tangan Aini, dengan cepat Aini pun melayangkan sebuah tamparan keras di wajah Adam.
“Saya sudah cukup sabar menghadapi sikap Anda yang terus mengganggu saya, tapi kali ini Anda sudah sangat keterlaluan!!!”, bentak Aini.
Firman yang diam-diam menyaksikan kejadian tersebut sontak tercengang melihat Aini menampar dan membentak Adam yang bisa dibilang telah kurang ajar pada Aini.
Keesokan harinya Aini disuruh ibunya mengantarkan sebuah cake untuk ibu Firman. Aini menurutkan perintah ibunya seperti biasanya. Ya, Aini telah sering mendapat perintah semacam itu sehingga Aini pun sering berkunjung ke rumah Firman dan semakin akrab dengan ibu Firman. Saat di perjalanan dia berharap akan bertemu dengan Firman karena sejak diperkenalkannya dahulu dia telah tertarik pada Firman namun dia hanya bisa menunggu. Sesampainya di sana, ternyata ibu Firman tidak ada, hanya Firman seorang diri di rumah. Mau tak mau Firman menemani Aini dan sedikit berbincang.
“Kenapa kok diam saja???”, Tanya Firman memulai namun Aini hanya membalas dengan senyuman.
“Kenapa kamu jauh-jauh mondok di Gontor??? ‘Kan di sini juga ada banyak pondok…”
ilustrasi-ikhwan-akhwat-2.jpg“Karena di sana ada kakek-nenek saya, Mas…”, jawab Aini singkat. Hati Firman mendadak bergetar saat mendengar suara halus Aini.
“Oooh, terus kenapa kok pilih kuliah di universitas swasta?? Dengar-dengar prestasimu cukup bagus, kenapa tidak ke ITB saja???”
“Karena kata Ibu dekat dari rumah, jadi saya menurut saja karena saya yakin dnegan restu Ibu saya akan lancar menempuh pendidikan…”
Hening sejenak karena Firman tak tahu mau bertanya apa lagi, sedangkan Aini sedikitpun tak membuka pertanyaan.
“Oiya, hotnews kampus katanya kamu menolak Adam sang pangeran kampus, ya???”, kata Firman akhirnya.
“Iya, Mas.”, jawabnya singkat.
“Kenapa???”
“Dia udah kurang ajar.”
“Oooh, jadi kalau seandainya dia gak kurang ajar, kamu mau, gitu???”
“Ya tetap tidak, Mas. Haram hukumnya. Lagian saya ingin Ibu saya yang memilihkan. Bukan malah aal-asalan.”
“Oooh, begitu. Heemmm… dan ibumu memilihku, benar???”
“Iya, Mas.”, jawab Aini tertunduk malu.
“Kamu mau???”
“Eeeemmmh… maaf, Mas… saya harus pulang. Salam pada Bibi, ya…”, potong Aini menghindar.
“Lho, kok…”
“Assalamualaikum…”
“Iya, waalaikumsalam…”
***
Firman terus memikirkan gadis 19 tahun itu. Dan setiap dia menepisnya, semakin gadis itu melayang-layang dalam fikirannya bahkan Aini masuk dalam setiap mimpi-mimpi indahnya. Firman bingung akan apa yang dialaminya. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga tahun pun berganti, Aini tetap menghantui fikirannya dan setiap dia memikirkan gadis itu, jantungnya berdegup kencang.
“Apakah aku telah jatuh dalam lautan keindahannya??? Ya Allah, jika memang dia yang terbaik untukku maka dekatkanlah namun jika tidak, hapuskanlah dia dari hati dan fikiranku…”, gumamnya dalam lamunan.
***
“Fir, kenapa ya  kok Aini jarang kesini??? Udah hampir setahun lebih dia tak pernah kesini padahal dulu paling sedikit sebulan sekali dia kesini… kenapa ya, Fir???”, tanya ibunya heran.
“Mungkin Aini sedang sibuk, Bu…”, jawab Firman menenangkan.
“Sibuk apa kok sampai setahun gini…???”
“Ya mana Firman tahu toh, Bu…”
“Tolong cari tahu lah, Fir… Ibu kangen sama Aini… memangnya kamu tidak kangen???”
“Ibu ini ada-ada saja…”
“Ada-ada saja bagaimana… memangnya kamu tak ada perasaan toh sama Aini???”
“Ibu kok bertanya seperti itu, Bu???”
“Ya karena Ibu lihat akhir-akhir ini kamu tidak tenang semenjak Aini jarang kesini…”
“Sudahlah, Bu... Firman tak ingin membicarakan hal ini…”
Firman mencoba berlalu namun ibunya menahan dirinya dan terus saja mendesak untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkannya tersebut. Namun Firman tetap tak mau menjawab karena dia malu akan mengakui kebenaran hatinya. Malu karena dia pernah suuzan pada Aini tapi sesungguhnya hatinya tak sanggup lagi untuk menyimpan rasa tersebut.
Dan akhirnya di suatu malam Firman tak sengaja bertemu dengan Aini. Seperti biasa Aini menundukkan kepala tapi Firman memberanikan diri untuk memanggil namanya.
“Assalamualaikum, Aini…!!!”
“Waalaikumsalam… oooh Mas Firman…”
“Lama gak ketemu ya, Aini??”
“Iya, Mas…”
“Dari mana malam-malam gini???”
“Dari apotek beli obat untuk ibu, Mas…”
“Lho, memangnya ibu kamu sakit apa???”
“Ibu tiba-tiba terserang stroke, Mas…”, jawab Aini dengan mata berkaca-kaca.
“Innalillahi… sejak kapan???”
“Sejak setahun lalu, Mas… tak tahu apa sebabnya… sudah dibawa berobat kemana-mana tapi tetap tidak bisa sembuh, Mas…”
“Boleh aku menjenguk ibumu sekarang???”
“Jangan sekarang ya, Mas… besok saja, karena sekarang waktunya ibu istirahat, Mas…”
“Baiklah kalau begitu, Insya Allah besok aku akan menjenguk beliau…”
“Iya, Mas. Yasudah saya mau pulang ya, Mas. Ibu nungguin…”, pinta Aini.
“Iya, hati-hati di jalan!!!”
“Iya, Mas. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam!”
Sesampainya di rumah, Firman langsung memberitahu ibunya kalau Ibu Aini sakit stroke. Ibunya kaget dan ingin cepat-cepat menjenguk ibu Aini tersebut. Tapi Firman menegaskan kalau sebaiknya besok untuk menjenguk karena sekarang sudah terlalu malam untuk berkunjung ke rumah orang. Akhirnya ibunya menurut dan menunggu esok hari.
Keesokan harinya Firman dan ibunya segera menuju rumah Aini untuk melihat keadaan ibu Aini. Ini kali pertama Firman berkunjung ke rumah Aini. Saat sampai di rumah Aini, Firman tercengang melihat keadaan rumah Aini yang megah namun hanya berpenghuni 3 orang yaitu Aini, ibunya dan pembantunya. Firman tak pernah berfikiran kalau Aini adalah putri orang kaya karena Aini selalu bersikap sederhana.
ilustrasi-ikhwan-akhwat-2.jpgIbu Aini terbaring tak berdaya di tempat tidur, beliau hanya bisa menggerakkan mulutnya untuk berbicara, itupun tidak begitu keras. Sedangkan Aini bergegas menuju dapur membuatkan minuman dan menyiapkan makanan kecil untuk disuguhkan pada Firman serta ibunya.
“Bu Khusnul, terima kasih telah bersedia mampir kesini???”, ucap Ustadzah Cholifah dengan terbata-bata.
“Iya, Ustadzah. Maaf saya baru kesini, saya tidak mendengar kabar kalau Ustadzah terserang stroke, baru kemarin saya mengetahui kabar itu…”, jawab ibu Firman.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah sangat senang Ibu bersedia kesini. Oiya, lelaki ini siapa, Bu??”
“Ini Firman, Ustadzah…”
“Firman??? Subhanallah, tampan sekali kamu, Nak… dulu terakhir aku melihatmu, kamu masih kecil… oiya  Bu Khusnul, bagaimana dengan permintaan saya tempo dulu???”
“Kalau hal itu saya terserah Firmannya saja, Ustadzah…”
“Baiklah. Firman, bagaimana, Nak??? Apa kamu mau menerima Aini???”, tanya Ustadzah Cholifah pada Firman.
“Eemmmmhh…”, gumam Firman berfikir.
“Kenapa, Nak??? Apa kamu tidak menyukai Aini???”
“Bukan seperti itu, Ustadzah… Buuu….”, adu Firman pada ibunya karena bingung mau berkata apa.
“Katakan saja, Le… tidak apa-apa!”, kata ibunya.
“Begini, Bu, Ustadzah… memang awalnya saya tidak ingin karena saya takut dikecewakan seorang perempuan lagi namun setelah waktu lama berselang ternyata ketakutan saya itu hanya suuzan semata. Dan….”
“Dan apa, Le???”, sela ibunya tak sabar.
“Dan ternyata Aini tidak seperti yang Firman kira, Bu… benar kata Ibu kalau Aini baik untuk Firman dan hati Firman juga tak bisa mengelak kalau Firman telah jatuh dalam keindahan Aini…”
“Alhamdulillah, jadi kamu mau menerima Aini, Nak???”, tanya ibu Aini menegaskan.
“Insya Allah iya, Ustadzah…”
Ternyata Aini mendengar percakapan ibunya dan kedua tamunya itu dari balik pintu kamar ibunya. Hati Aini terasa lega saat Firman mengatakan mau menerimanya. Sungguh terasa indah dunia saat itu bagi Aini.
“Kalau begitu lekaslah kalian menikah… lebih cepat lebih baik karena saya ingin melihat putri bungsu saya menikah sebelum saya menutup waktu…”, kata ibu Aini.
“Jangan berkata seperti itu, Ustadzah… tidak baik berkata seperti itu, saya yakin pasti Ustadzah akan segera sembuh…”, jawab ibu Firman.
“Terima kasih, Bu… saya juga ingin sekali lekas sembuh… oiya, bagaimana kalau pernikahan Firman dan Aini dilangsungkan bulan depan???”
“Bulan depan??? Apa tidak terlalu cepat, Ustadzah??? Lagipula Aini juga belum mengetahui akan hal ini…”, tanya Firman kaget.
“Lebih cepat lebih baik, Nak Firman. Soal Aini nanti Bibi yang akan bilang, Nak…”
“Bilang apa toh, Bu…???”, tanya Aini yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar ibunya.
“Begini, Nduk… Ibu berencana menikahkan kamu dengan Nak Firman bulan depan… kamu mau ‘kan, Nduk???”, kata ibunya.
“Kalau saya terserah Ibu dan Mas Firman serta Bibi saja…”
“Tuh, Nak Firman… sudah dengar sendiri ‘kan… sekarang keputusan ada di tangan kamu, Nak…”
“Kalau semuanya sudah setuju maka saya mau bagaimana lagi, Ustadzah…”, jawab Firman.
“Alhamdulillah…!!!”, jawab Ustadzah Cholifah dan ibu Firman bersamaan.
Aini hanya tersenyum, tersenyum bahagia yang nampak di bibir tipisnya.
***
Mereka pun kemudian sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk acara pernikahan Firman dengan Aini. Mulai dari pakaian pengantin, undangan, dekorasi, dan lain sebagainya. Sehingga Firman dan Aini menjadi sering bersama dan bertambah akrab. Dan terlihat di kedua wajah insane itu terpancar kebahagiaan yang tak terhingga. Serta kesehatan ibu Aini pun berangsur pulih sehingga mulai sedikit bisa beraktivitas kembali.
“Mas, Mas mau konsep yang bagaimana untuk pernikahan kita nanti???” tanya Aini pada calon suaminya saat mendiskusikan dekorasi pernikahan.
“Yang sederhana saja, Dek, tapi tetap terlihat elegannya. Tapi terserah kamu sajalah, aku serahkan padamu…”, jawab Firman.
“Baiklah kalau begitu, Mas… Aini pilih yang seperti kata Mas aja ya…”
“Iya, Dek…”
Hari semakin mendekati hari H dan semua persipan pun sedikit demi sedikit telah terselesaikan sesuai keinginan. Kurang seminggu acara pernikahan mereka, Aini beserta ibunya dan calon mertuanya bersama-sama menyebarkan undangan pada saudara-saudara. Sedangkan Firman sendiri sibuk menyebarkan undangan pada teman-temannya juga teman-teman Aini.
Mereka berangkat pagi dan biasanya sore telah kembali pulang. Firman pun jam 4 sore sudah berada di rumah tetapi ketiga orang yang akan menjadi satu keluarganya itu masih belum pulang juga. Firman menunggu mereka dengan sedikit cemas karena perasaannya tidak begitu enak. Di saat dia menunggu keluarganya, tiba-tiba figura foto dirinya dan ibunya jatuh hingga pecah berkeping-keping. Perasaan Firman pun semakin tak enak. Tak lama kemudian ponselnya bordering.
“Assalamualaikum, benar ini Saudara Firman???”, tanya suara di ponsel itu.
ilustrasi-ikhwan-akhwat-2.jpg“Iya, benar. Ini siapa???”
“Ini dari pihak kepolisian, apakah anda keluarga dari Nona Aini, Ibu Cholifah dan Ibu Khusnul???”
“Iya benar. Ada apa ya???”
“Setengah jam yang lalu terjadi kecelakaan mobil dan di dalam mobil tersebut berisi keluarga anda. Sekarang lebih baik anda segera ke rumah sakit Cempaka untuk melihat keadaan mereka…”
Firman pun langsung bergegas menuju rumah sakit yang dimaksud dengan linangan air mata yang tak terasa terus membasahi pipinya. Di jalan dia terjebak macet yang sangat hebat akhirnya dia meninggalkan motornya di jalan tersebut dan tak menghiraukannya kemudian berlari menuju rumah sakit Cempaka yang tak jauh lagi jaraknya. Sesampainya di sana ternyata ada bibinya yang telah menunggunya. Bibinya langsung memeluk dirinya dengan isak tangis yang hebat.
“Dimana ibu????!!!! Dimana Ustadzah Cholifah dan Aini?????!!!!”, tanya Firman dalam pelukan bibinya.
“Sabar ya, Le… sabar!!!!”, jawab bibinya dengan terisak.
“DIMANA MEREKA!!!!!”
“Di dalam ruangan itu, Nak…”, jawab bibinya sambil melepas dekapannya.
Firman pun segera memasuki ruangan yang dimaksudkan bibinya dan menemui tiga buah ranjang yang di atasnya terdapat Aini, ibunya dan calon mertuanya. Namun, ketiga ranjang tersebut telah tertutup oleh kain putih seluruhnya.
“TIDAAAAAAAKKKKKKKKKKKK!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”, teriak Firman.
“Ibu, Ustadzah, akhwatku, jangan tinggalkan diriku sendirian di dunia ini…!!!”, tangis Firman.
“Ainiku, calon istriku, kekasih hatiku, bangun… pernikahan kita tinggal selangkah lagi… jangan pergi, Dek… jangan tinggalkan Mas…”, ucap Firman sambil memeluk jenazah Aini.
“Firman, sudah, Nak… ikhlaskan mereka… ikhlaskan, Le… tabahkan dirimu…!”, kata bibinya mencoba menenangkan dan mencoba menarik tubuh keponakannya.
“Kenapa semua ini terjadi padaku!!!???? Ini sungguh tak adil… semuanya direnggut dariku… kebahagiaanku, semuanya telah lenyap…!!!! aaAAArRRgGGhHHH!!!!!!!!!”
Sungguh kenyataan yang sangat pahit untuk diterima Firman. Tapi itulah takdir. Itulah yang telah digariskan Sang Kuasa. Pemakaman ketiga orang yang dikasihinya pun segera dilakukan kesesokan harinya dan Firman pun semakin tak kuat menahan kesedihan dan air matanya. Makam mereka dibuat berjejer. Saat pemakan berlangsung tak sengaja Firman berkata pada bibinya, kalau nanti dia meninggal dia ingin dimakamkan di dekat makam Aini.
Seusai prosesi pemakaman, Firman langsung pulang dengan air mata yang masih saja menetes tiada henti. Dia berkata dalam hatinya mengapa di saat dia akan meraih kebahagiaan yang diinginkannya dia harus menelan kenyataan pahit sepahit-pahitnya. Ibunya, calon mertua dan calon istrinya meninggal dunia, sungguh tak pernah terbayangkan sedikitpun mereka pergi secepat itu secara bersamaan.
“Ya Allah, aku sangat mencintai calon istriku, aku bersyukur Engkau temukan diriku dengannya meskipun hanya sekejap waktu. Surga dunia yang aku idam-idamkan kini telah sirna sudah. Tak ada lagi kekasih hati, seorang ibu dan mertua… ya Allah, tak sanggup rasanya aku harus menanggung beban ini. Tak kuat rasanya aku ‘tuk hidup sendirian di dunia fana ini…. Astaghfirullahaladhim…”, tangis Firman di setiap doanya.
Sebulan sudah Ibunya, Aini dan ibu Aini berpulang, dan Firman masih tetap menangis dan menangis dan dia tak ingin keluar rumah barang sedikitpun. Dia selalu berdoa pada-Nya dan setiap usai berdoa dia selalu bersujud kembali.
“Ya Allah, aku ingin berkumpul dengan mereka… tak sanggup sudah diriku ini ‘tuk melanjutkan hidup… tak ada semangat dan harapan lagi buatku… ya Allah, jemputlah diriku… aku tak sanggup lagi…”, tangis Firman dalam sujudnya.
Namun saat dia bersujud saat itu sangat lama sekali, tak bangun-bangun kembali. Terdengar ketukan pintu dari luar.
“Fir, ini Bibi, Nak… buka pintunya….!!!”, ucap Bibinya dari balik pintu.
Karena tak ada jawaban akhirnya bibinya mencoba masuk dan ternyata pintu rumah tak dikunci. Bibinya langsung mencari Firman dan menemukannya di dalam kamarnya dalam keadaan bersujud.
“Fir, Firman…”, ucap bibinya membangunkan Firman.
Tapi Firman tak bangun-bangun juga, akhirnya bibinya mencoba menyentuh tubuh Firman, terasa kaku dan dingin dan saat itu jugalah tubuh Firman jatuh terbaring. Bibinya sontak terkejut karena Firman telah tak bernyawa.
“Innalillahiwainnailaihiroji’un… ya Allah, Le… kok kamu sampai seperti ini, Nak…”, tangis bibinya sambil menutup seluruh tubuh keponakannya itu dengan kain.
Saat bibinya bangkit, terlihat secarik kertas bertuliskan sesuatu yang kurang jelas karena buram terkena air, mungkin air mata Firman.
“Aini, engkaulah bidadariku di dunia dan akhirat, aku tak sanggup hidup tanpa dirimu, Ainiku. Mengapa engkau tinggalkan Mas sendirian di dunia ini. Ana behibek,Aini!!!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar